Mencuci atau bersabun adalah dua kegiatan yang sehari-hari selalu kita lakukan. Sejarah mandi pun sebenarnya unik. Dari zaman Romawi yang terkenal karena suka mandi dan bahkan membawa kebiasaan mandi ke Gaul dan Britania, hingga jaman Perang Salib yang membawa kebiasaan mandi kembali ke Eropa barat. Dan dalam perjalanannya ditemukanlah sabun sebagai pembersih yang disukai karena keharumannya.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari ternyata ada beberapa orang yang tidak tahan(kulitnya) terhadap baluran sabun. Kulitnya menjadi kemerahan, gatal, dan bersisik, dan kadang melepuh. Ini disebut dermatitis kontak iritan(DKI)/kontak alergi(DKA). Yang membedakannya adalah, pada DKI munculnya rasa gatal dan keluhan pada kulit muncul dalam waktu beberapa jam setelah paparan, sedangkan pada DKA keluhan kulit biasanya muncul setelah beberapa hari. Pengalaman praktek dan klinis saya mengajarkan bahwa ketika pasien datang dengan keadaan kulit seperti di atas dan memaparkan keluhan seperti:’Kemarin saya pake sabun A tidak apa-apa, tapi kok 2 minggu ini muncul di kulit saya seperti ini?’ atau ‘Kemaren saya ke dokter kulit dibilang suruh mengganti sabun/deterjen, sudah saya lakukan, tapi tetap saja seperti ini’, muncul suatu pertanyaan bagi saya,”Masak ganti sabun terus?(padahal sudah ganti sabun bayi yang hipo-alergenik).” Dalam buku teks klinis dan masa kepaniteraan(ko-ass) kami (calon dokter)diajarkan jika menemukan kasus curiga ke arah dermatitis kontak alergi/kontak iritan,cobalah hentikan paparan sabun/deterjen atau mengganti sabun/deterjen yang digunakan menjadi sabun/deterjen yang hipo-alergenik.
Fakta di atas menggelitik saya, apakah pasien harus ganti-ganti sabun terus hingga ditemukan sabun yang cocok? Iseng-iseng saya browsing tentang masalah ini dan akhirnya saya menemukan suatu penelitian ilmiah tentang keterkaitan antara radang kulit(rash) dan penggunaan sabun/deterjen. Berikut saya ambil dari Journal of the American Academy of Dermatology oleh Donald V. Belsito dari universitas Kansas sebuah publikasi berjudul :” Allergic contact dermatitis to detergents. A multicenter study to assess prevalence”(februari,2002). Kesimpulan yang didapat adalah,”deterjen nampaknya merupakan penyebab DKA yang jarang terjadi.” Mereka menemukan bahwa kurang dari 1% pasien yang deterjennya dicurigai menyebabkan DKA , berreaksi terhadap tes alergi dengan deterjen tersebut. Si penulis juga menambahkan, prevalensi yang nyata dari alergi ini kemungkinan juga lebih sedikit karena pasien-pasien yang berreaksi terhadap tes alergi kemungkinan hanya mengalami iritasi dibandingkan dan bukan suatu alergi yang nyata.
Banyak kasus dari radang kulit mencerminkan suatu pewarisan(hereditas) dan sensitivitas, dan bukan suatu alergi. Radang sejenis ini datang dan pergi sesuka hati. Meskipun sifat dari radang kulit ini tidak dapat dijelaskan, namun radang ini bisa dikendalikan dan dikontrol dengan resiko yang rendah dan usaha yang sederhana.
Penanganannya cukup sederhana. Berikan pelembab pada radang kulit anda seperti jeli dan pelembab lainnya jika radang anda bersifat kering. Jika radang anda bersifat basah, berikan astringen seperti alumunium asetat atau witch hazel atau cukup ditutup dengan kain kassa yang basah. Jika semua itu tidak mengurangi radang anda, penggunaan steroid topikal mungkin perlu dipertimbangkan.
Jadi,sebelum anda membuang semua sabun anda, pertimbangkan hasil penelitian di atas, memang ada hal-hal yang di luar kekuasaan sains. Namun, itu bisa dikendalikan juga dengan sains.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar