Bagi wartawan asing dan pengamat pemilu
internasional, pemilu legislatif Indonesia merupakan pemilu paling
kompleks di dunia. Beberapa media internasional pernah mengulas soal ini
panjang lebar setelah mengikuti Pemilu 2004.
Padahal pemilu sesudahnya, situasinya jauh lebih rumit. Jika Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, Pemilu 2004 menggunakan sistem setengah terbuka, sejak Pemilu 2009 kita menggunakan sistem proporsional terbuka.
Dalam proporsional daftar tertutup, pemilih hanya diperkenankan memilih partai, sehingga meskipun Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik, pemilih bisa mengidentifikasi dengan cepat pilihannya. Kali itu sesungguhnya pemilih menghadapi 144 pilihan untuk memilih tiga lembaga (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).
Pemilu 2004 mengalami berubahan signifikan. Tak hanya jumlah lembaga yang harus dipilih bertambah menjadi 4 dengan hadirnya DPD, tetapi juga cara memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berubah. Perubahan ini merupakan konsekuensi diterapkannya sistem proporsional setengah terbuka.
Dalam sistem setengah hati itu terdapat ketetuan "aneh" dalam UU No. 12/2003: memilih partai, sah; memilih calon, tidak sah; tapi kalau memilih partai dan calon, baru sah. Surat suara menjadi lebar, karena harus memuat daftar calon. Di sini formula terpilihnya: calon mendapat suara 100 persen BPP atau kuota suara satu kursi (yaitu jumlah suara sah dibagi jumlah kursi di daerah pemilihan); jika tidak ada calon yang mencapai 100 persen BPP, kursi diberikan berdasarkan nomor urut.
Pada saat itu, pemilih menghadapi 24 partai, dan masing-masing partai mengajukan 120 persen calon dari jumlah kursi yang tersedia di setiap daerah pemilihan. Itu artinya, jika daerah pemilihan berkursi paling kecil, yakni 3 kursi, berarti 4 calon x 24 partai x 3 lembaga = 288 calon; jika daerah pemilihan berkursi paling besar, yakni 12 kursi, berarti 15 calon x 24 partai 3 lembaga = 1.080 calon. Itu pun masih ditambah 20 calon DPD.
UU No 10/2008 sebetulnya masih mempertahankan sistem pemilu proporsional daftar terbuka setengah hati, dengan formula calon terpilih diturunkan, yakni 30 persen BPP. Artinya jika tidak ada calon yang meraih 30 persen BPP, kursi diberikan berdasar nomor urut. Namun ketentuan ini dihapus MK. Selanjutnya MK memaksa KPU untuk menetapkan calon terpilih berdasar suara terbanyak.
Yang jadi masalah adalah, meskipun calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemilih masih diperkenankan memilih partai politik. Bahkan memilih partai politik dan calon pun suaranya dianggap sah. Inilah yang menyebabkan mengapa pada Pemilu 2009, banyak TPS yang menghitung jumlah suara lebih banyak daripada jumlah pemilih. Sebab, KPPS menghitung dobel suara pemilih yang memilih partai dan calon sekaligus.
Meskipun metode pemberian suara itu tidak sesuai dengan prinsip pemilu proporsional daftar terbuka dan membingungkan pemilih, melalui UU No 8/2012 tetap dipertahankan. Dengan demikian dalam Pemilu 2014 ini, terdapat tiga cara memberikan suara: memilih partai, memilih calon, dan memilih partai dan calon.
Jika memilih partai, suara akan dihitung masuk suara partai, yang akan digunakan untuk menentukan perolehan kursi partai; jika memilih calon, suara akan dihitung suara calon sehingga bisa digunakan menetapkan calon terpilih, dan; jika memilih partai dan calon, suara akan dihitung calon, sesuai dengan prinsip pemilu proporsional.
Nah, tiga cara yang tak lazim dalam pemilu proporsional terbuka itu, masih ditambah lagi kreasi KPU. Melalui PKPU No 26/2013 KPU menyatakan, pemilih yang memilih dua atau lebih calon, suaranya dinyatakan sah, dan dimasukkan sebagai suara partai.
Dalih KPU, pengesahan suara yang memilih dua atau lebih calon dalam satu partai ini, demi menyelamatkan suara pemilih. Meskipun kalau balik ke prinsip dasar pemilu proporsional, suara yang benar adalah yang memilih calon, karena memilih calon berarti memilih partai politik.
Artinya, kalau pemilih memilih dua atau lebih calon, mereka memang tidak mengerti cara memilih atau berniat tidak memilih. Kalau tidak mengerti cara memilih, berarti KPU, partai, dan calon gagal menyosialisasikan tata cara memberikan suara; nah, kalau memang berniat tidak memilih, ya tentu saja suara tidak bisa dipaksakan masuk partai.
Demikianlah, jika Pemilu 2004 saja disebut orang asing sebagai pemilu paling rumit di dunia, maka Pemilu 2014 takkan terkejar oleh oleh praktik pemilu di belahan dunia lain. Bahkan jika di akhirat nanti ada pemilu, maka pemilu kita merupakan pemilu paling rumit di dunia dan di akhirat.
Padahal pemilu sesudahnya, situasinya jauh lebih rumit. Jika Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, Pemilu 2004 menggunakan sistem setengah terbuka, sejak Pemilu 2009 kita menggunakan sistem proporsional terbuka.
Dalam proporsional daftar tertutup, pemilih hanya diperkenankan memilih partai, sehingga meskipun Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik, pemilih bisa mengidentifikasi dengan cepat pilihannya. Kali itu sesungguhnya pemilih menghadapi 144 pilihan untuk memilih tiga lembaga (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).
Pemilu 2004 mengalami berubahan signifikan. Tak hanya jumlah lembaga yang harus dipilih bertambah menjadi 4 dengan hadirnya DPD, tetapi juga cara memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berubah. Perubahan ini merupakan konsekuensi diterapkannya sistem proporsional setengah terbuka.
Dalam sistem setengah hati itu terdapat ketetuan "aneh" dalam UU No. 12/2003: memilih partai, sah; memilih calon, tidak sah; tapi kalau memilih partai dan calon, baru sah. Surat suara menjadi lebar, karena harus memuat daftar calon. Di sini formula terpilihnya: calon mendapat suara 100 persen BPP atau kuota suara satu kursi (yaitu jumlah suara sah dibagi jumlah kursi di daerah pemilihan); jika tidak ada calon yang mencapai 100 persen BPP, kursi diberikan berdasarkan nomor urut.
Pada saat itu, pemilih menghadapi 24 partai, dan masing-masing partai mengajukan 120 persen calon dari jumlah kursi yang tersedia di setiap daerah pemilihan. Itu artinya, jika daerah pemilihan berkursi paling kecil, yakni 3 kursi, berarti 4 calon x 24 partai x 3 lembaga = 288 calon; jika daerah pemilihan berkursi paling besar, yakni 12 kursi, berarti 15 calon x 24 partai 3 lembaga = 1.080 calon. Itu pun masih ditambah 20 calon DPD.
UU No 10/2008 sebetulnya masih mempertahankan sistem pemilu proporsional daftar terbuka setengah hati, dengan formula calon terpilih diturunkan, yakni 30 persen BPP. Artinya jika tidak ada calon yang meraih 30 persen BPP, kursi diberikan berdasar nomor urut. Namun ketentuan ini dihapus MK. Selanjutnya MK memaksa KPU untuk menetapkan calon terpilih berdasar suara terbanyak.
Yang jadi masalah adalah, meskipun calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemilih masih diperkenankan memilih partai politik. Bahkan memilih partai politik dan calon pun suaranya dianggap sah. Inilah yang menyebabkan mengapa pada Pemilu 2009, banyak TPS yang menghitung jumlah suara lebih banyak daripada jumlah pemilih. Sebab, KPPS menghitung dobel suara pemilih yang memilih partai dan calon sekaligus.
Meskipun metode pemberian suara itu tidak sesuai dengan prinsip pemilu proporsional daftar terbuka dan membingungkan pemilih, melalui UU No 8/2012 tetap dipertahankan. Dengan demikian dalam Pemilu 2014 ini, terdapat tiga cara memberikan suara: memilih partai, memilih calon, dan memilih partai dan calon.
Jika memilih partai, suara akan dihitung masuk suara partai, yang akan digunakan untuk menentukan perolehan kursi partai; jika memilih calon, suara akan dihitung suara calon sehingga bisa digunakan menetapkan calon terpilih, dan; jika memilih partai dan calon, suara akan dihitung calon, sesuai dengan prinsip pemilu proporsional.
Nah, tiga cara yang tak lazim dalam pemilu proporsional terbuka itu, masih ditambah lagi kreasi KPU. Melalui PKPU No 26/2013 KPU menyatakan, pemilih yang memilih dua atau lebih calon, suaranya dinyatakan sah, dan dimasukkan sebagai suara partai.
Dalih KPU, pengesahan suara yang memilih dua atau lebih calon dalam satu partai ini, demi menyelamatkan suara pemilih. Meskipun kalau balik ke prinsip dasar pemilu proporsional, suara yang benar adalah yang memilih calon, karena memilih calon berarti memilih partai politik.
Artinya, kalau pemilih memilih dua atau lebih calon, mereka memang tidak mengerti cara memilih atau berniat tidak memilih. Kalau tidak mengerti cara memilih, berarti KPU, partai, dan calon gagal menyosialisasikan tata cara memberikan suara; nah, kalau memang berniat tidak memilih, ya tentu saja suara tidak bisa dipaksakan masuk partai.
Demikianlah, jika Pemilu 2004 saja disebut orang asing sebagai pemilu paling rumit di dunia, maka Pemilu 2014 takkan terkejar oleh oleh praktik pemilu di belahan dunia lain. Bahkan jika di akhirat nanti ada pemilu, maka pemilu kita merupakan pemilu paling rumit di dunia dan di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar